Bahá'í Library Online
.. . .
.
Back to Newspaper articles archive: 2003


KOLOM

Jakarta , Jumat, 17-01-2003 19:29:32

Adian Husaini

Ulil dan Agama-agama

GATRA.com - "Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar." (Ulil Abshar-Abdalla, GATRA 21 Desember 2002).

DI antara serenceng gagasan "liberalisasi Islam" versi Ulil Abshar-Abdalla, pemikiran tentang "persamaan agama" ini menjadi satu di antara titik kontroversi yang menarik. Sebab, ini bukan gagasan baru. Dr. J. Verkuil pernah menulis buku Samakah Semua Agama? yang memuat hikayat Nathan der Weise (Nathan yang Bijaksana).

Nathan adalah seorang Yahudi yang ditanya Sultan Saladin tentang agama manakah yang terbaik, apakah Islam, Yahudi, atau Nasrani. Ujungnya, dikatakan, semua agama itu intinya sama saja. Hikayat Nathan itu ditulis Lessing (1729-1781), seorang Kristen yang mempercayai bahwa inti sari agama Kristen adalah Tuhan, kebajikan, dan kehidupan kekal. Inti sari itu, menurut dia, juga terdapat pada Islam, Yahudi, dan agama lainnya.

Dalam Konferensi Parlemen Agama-agama di Chicago, Amerika Serikat, 1893, diserukan bahwa tembok pemisah antara berbagai agama di dunia ini sudah runtuh. Konferensi itu akhirnya menyerukan persamaan antara Kong Hu Cu, Buddha, Islam, dan agama-agama lain. Mereka juga berkesimpulan bahwa berita yang disampaikan oleh nabi-nabi itu sama saja.

Para penyeru gagasan "persamaan agama" kadangkala mengungkap hikayat populer tentang seekor gajah dan empat orang buta. Masing-masing ingin mengetahui bentuk gajah, namun hanya dapat memegang ekornya, kakinya, telinganya, dan belalainya. Keempatnya kemudian memersepsikan gajah sesuai dengan bagian tubuh yang bisa dirabanya. Walhasil, tidak ada satu manusia pun yang mengetahui kebenaran dengan pasti, sehingga tidak layak mengaku bahwa agamanyalah yang paling benar.

Secara terminologis, definisi "agama" itu sendiri sudah menimbulkan persoalan sangat pelik. Apa yang disebut "agama"? Dan kepercayaan mana saja yang layak dikategorikan sebagai "agama"? Dalam Atlas of The World's Religions (1999) disebutkan daftar pemeluk agama-agama di dunia: Christian, Muslim, Hindu, Non-religious, Buddhist, Tribal Religions, Atheist, New Religions, Sikh, Daoist, Jewish, Baha'i, Confucian, Jain, Shinto, Zoroastrian. Apakah semua agama itu sama? Kini ada ribuan tribal dan New Religions di muka bumi. Bagaimana dengan ratusan aliran kepercayaan di Indonesia? Apakah mereka juga bukan agama?

Sejumlah pakar juga memberikan definisi agama yang beragam. Mircea Eliade menyatakan, orang yang beragama (religious man) adalah: "A Religious man is one who recognises the essential differences between the sacred and the profane and prefers the sacred." Emile Durkheim mendefinisikan agama sebagai: "Religion is an interdependent whole composed of beliefs and rites (faiths and practices) related to sacred things, unites adherents in a single community known as a Church".

Endang Saifuddin Anshari mendefinisikan agama sebagai "sistem kredo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu Yang Mutlak di luar manusia dan satu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya Yang Mutlak itu, serta sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaksud."

Jika begitu luasnya cakupan definisi agama, maka pernyataan "semua agama sama" sebenarnya lebih merupakan klaim yang asal-asalan. Sebab, tidak mungkin pembuat pernyataan itu telah mempelajari semua agama secara komprehensif. Setiap agama memiliki sistem kepercayaan dan tata ibadah yang khas (eksklusif), yang bisa jadi berbeda bahkan bertentangan dengan agama lain.

Fakta, Tuhannya orang Islam menghalalkan sapi. Sementara, Tuhannya orang Hindu mengharamkan sapi. Orang Islam dilarang oleh Tuhannya meminum minuman beralkohol. Sementara pemeluk agama lain diperbolehkan. Orang Konghucu percaya adanya "Dewa Dapur". Orang Islam tidak mempercayai hal itu.

Gagasan persamaan agama biasanya diajukan sebagai alternatif untuk membangun "kerukunan umat beragama". Logika itu justru bertentangan. Jika seseorang sudah menganut paham bahwa "semua agama sama", maka tidak ada lagi yang perlu dirukunkan antarumat beragama. Sebab, semuanya sudah sama, sudah satu. Mereka menjadi penganut "semua agama" atau "theology of religions". Tidak perlu lagi yang namanya toleransi, sebab semuanya sudah sama.

Perbedaan antaragama seharusnya diakui dan diterima sebagai realitas. Untuk itulah diperlukan dialog intensif antarpemeluk agama, agar terjadi toleransi dan kerukunan umat beragama. Gagasan "persamaan agama" mudah berujung sikap agnostik atau ketidakpedulian pada agamanya sendiri. Dia bisa berpikir, untuk apa bertekun-tekun menjalankan syariat agamanya, toh semua agama sama. Dengan cara apa pun orang bisa masuk surga.

Akhirnya, patut dipertanyakan pada pemilik gagasan "semua agama sama", untuk apa ia masih memeluk agamanya; beranikah ia memberikan suri tauladan untuk meninggalkan agamanya dan memeluk agama lain? Bukankah katanya semua agama sama? Jika ia masih memeluk Islam, beranikah ia berpesan kepada keluarganya, jika meninggal, silakan jasadnya dikremasi dan abunya dibuang ke laut, demi "tujuan mulia" untuk menghemat tanah kuburan di wilayah DKI?

©Copyright 2003, Gatra (Indonesia)

Following is the URL to the original story. The site may have removed or archived this story. URL: http://www.gatra.com/index2.php3?id=2003012109221479&rubrik=GI%20Kolom&tanggal=2003-01-17&mid=2


.
. .